(1) Perkembangan Teknologi Informasi
Terjadinya revolusi teknologi
informasi merupakan sebuah tantangan yang harus mampu dipecahkan secara
mendesak. Adanya perkembangan teknologi informasi yang demikian akan
mengubah pola hubungan guru-murid, teknologi instruksional dan sistem
pendidikan secara keseluruhan. Kemampuan guru dituntut untuk
menyesuaikan hal demikian itu. Adanya revolusi informasi harus dapat
dimanfaatkan oleh bidang pendidikan sebagai alat mencapai tujuannya dan
bukan sebaliknya justru menjadi penghambat. Untuk itu, perlu didukung
oleh suatu kehendak dan etika yang dilandasi oleh ilmu pendidikan dengan
dukungan berbagai pengalaman para praktisi pendidikan di lapangan.
Perkembangan teknologi
(terutama teknologi informasi) menyebabkan peranan sekolah sebagai
lembaga pendidikan akan mulai bergeser. Sekolah tidak lagi akan menjadi
satu-satunya pusat pembelajaran karena aktivitas belajar tidak lagi
terbatasi oleh ruang dan waktu. Peran guru juga tidak akan menjadi
satu-satunya sumber belajar karena banyak sumber belajar dan sumber
informasi yang mampu memfasilitasi seseorang untuk belajar.
Wen (2003) seorang usahawan
teknologi mempunyai gagasan mereformasi system pendidikan masa depan.
Menurutnya, apabila anak diajarkan untuk mampu belajar sendiri,
mencipta, dan menjalani kehidupannya dengan berani dan percaya diri atas
fasilitasi lingkungannya (keluarga dan masyarakat) serta peran sekolah
tidak hanya menekankan untuk mendapatkan nilai-nilai ujian yang baik
saja, maka akan jauh lebih baik dapat menghasilkan generasi masa depan.
Orientasi pendidikan yang terlupakan adalah bagaimana agar lulusan suatu
sekolah dapat cukup pengetahuannya dan kompeten dalam bidangnya, tapi
juga matang dan sehat kepribadiannya. Bahkan konsep tentang sekolah di
masa yang akan datang, menurutnya akan berubah secara drastis. Secara
fisik, sekolah tidak perlu lagi menyediakan sumber-sumber daya yang
secara tradisional berisi bangunan-bangunan besar, tenaga yang banyak
dan perangkat lainnya. Sekolah harus bekerja sama secara komplementer
dengan sumber belajar lain terutama fasilitas internet yang telah
menjadisekolah maya.Bagaimanapun kemajuan teknologi informasi di masa
yang akan datang, keberadaan sekolah tetap akan diperlukan oleh
masyarakat. Kita tidak dapat menghapus sekolah, karena dengan alasan
telah ada teknologi informasi yang maju. Ada sisi-sisi tertentu dari
fungsi dan peranan sekolah yang tidak dapat tergantikan, misalnya
hubungan guru-murid dalam fungsi mengembangkan kepribadian atau membina
hubungan sosial, rasa kebersamaan, kohesi sosial, dan lain-lain.
Teknologi informasi hanya mungkin menjadi pengganti fungsi penyebaran
informasi dan sumber belajar atau sumber bahan ajar. Bahan ajar yang
semula disampaikan di sekolah secara klasikal, lalu dapat diubah menjadi
pembelajaran yang diindividualisasikan melalui jaringan internet yang
dapat diakses oleh siapapun dari manapun secara individu.
Inilah tantangan profesi guru. Apakah perannya akan digantikan oleh teknologi informasi, atau guru
yang memanfaatkan teknologi informasi untuk menunjang peran profesinya.
Dunia pendidikan harus menyiapkan seluruh unsur dalam sistim pendidikan
agar tidak tertinggal atau ditinggalkan oleh perkembangan teknologi informasi tersebut.
Melalui penerapan dan pemilihan
teknologi informasi yang tepat (sebagai bagian dari teknologi
pendidikan), maka perbaikan mutu yang berkelanjutan dapat diharapkan.
Perbaikan yang berlangsung terus menerus secara konsisten/konstan akan
mendorong orientasi pada perubahan untuk memperbaiki secara terus
menerus dunia pendidikan. Adanya revolusi informasi dapat menjadi
tantangan bagi lembaga pendidikan karena mungkin kita belum siap
menyesuaikan. Sebaliknya, hal ini akan menjadi peluang yang baik bila
lembaga pendidikan mampu menyikapi dengan penuh keterbukaan dan berusaha
memilih jenis teknologi informasi yang tepat, sebagai penunjang
pencapaian mutu pendidikan. Pemilihan jenis media sebagai bentuk
aplikasi teknologi dalam pendidikan harus dipilih secara tepat, cermat
dan sesuai kebutuhan, serta bermakna bagi peningkatan mutu pendidikan
kita.
(2) Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan
Kini, paradigma pembangunan
yang dominan telah mulai bergeser ke paradigma desentralistik. Sejak
diundangkan UU No.22/1999 tentang Pemerintah Daerah maka menandai
perlunya desentralisasi dalam banyak urusan yang semula dikelola secara
sentralistik. Menurut Tjokroamidjoyo (dalam Jalal dan Supriyadi, 2001),
bahwa salah satu tujuan dari desentralisasi adalah untuk meningkatkan
pengertian rakyat serta dukungan mereka dalam kegiatan pembangunan dan
melatih rakyat untuk dapat mengatur urusannya sendiri. Ini artinya,
bahwa kemauan berpartisipasi masyarakat dalam pembangunan (termasuk
dalam pengembangan pendidikan) harus ditumbuhkan dan ruang partisipasi
perlu dibuka selebar-lebarnya.
Bergesernya paradigma pembangunan yang sentralistik ke desentralistik telah
mengubah cara pandang
penyelenggara negara dan masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan.
Pembangunan harus dipandang sebagai bagian dari kebutuhan masyarakat itu
sendiri dan bukan semata kepentingan negara. Pembangunan seharusnya
mengandung arti bahwa manusia ditempatkan pada posisi pelaku dan
sekaligus penerima manfaat dari proses mencari solusi dan meraih hasil
pembangunan untuk dirinya dan lingkungannya dalam arti yang lebih luas.
Dengan demikian, masyarakat harus mampu meningkatkan kualitas
kemandirian mengatasi masalah yang dihadapinya, baik secara individual
maupun secara kolektif. Belajar dari pengalaman bahwa ketika peran
pemerintah sangat dominan dan peran serta masyarakat hanya dipandang
sebagai kewajiban, maka masyarakat justru akan terpinggirkan dari proses
pembangunan itu sendiri. Penguatan partisipasi masyarakat haruslah
menjadi bagian dari agenda pembangunan itu sendiri, lebih-lebih dalam
era globalisasi. Peran serta masyarakat harus lebih dimaknai sebagai hak
daripada sekadar kewajiban. Kontrol rakyat (anggota masyarakat)
terhadap isi dan prioritas agenda pengambilan keputusan pembangunan
harus dimaknai sebagai hak masyarakat untuk ikut mengontrol agenda dan
urutan prioritas pembangunan bagi dirinya atau kelompoknya.
Desentralisasi adalah
penyerahan sebagian otoritas pemerintah pusat ke daerah, untuk
mendistribusikan beban pemerintah pusat ke daerah sehingga daerah dan
masyarakatnya ikut menanggung beban tersebut. Tujuannya adalah:
(1) Mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan tentang masalah-masalah kecil di tingkat lokal,
(2) Meningkatkan partisipasi masyarakat,
(3) Menyusun program-program perbaikan pada tingkat lokal yang lebih realistik,
(4) Melatih rakyat mengatur urusannya sendiri,
(5) Membina kesatuan nasional yang merupakan motor penggerak memberdayakan daerah.
Dalam
desentralisasi pendidikan, pemerintah pusat lebih berperan dalam
menghasilkan kebijaksanaan mendasar (menetapkan standar mutu pendidikan
secara nasional), sementara kebijaksanaan operasional yang menyangkut
variasi keadaan daerah didelegasikan kepada pejabat daerah bahkan
sekolah.
Kurikulum dan proses pendidikan
dalam kerangka otonomi daerah, ada bagian yang perlu dibakukan secara
nasional, tetapi hanya terbatas pada beberapa aspek pokok,yaitu:
(1) Substansi
pendidikan yang berada dibawah tanggung jawab pemerintah, seperti PKN,
Sejarah Nasional, Pendidikan Agama, dan Bahasa Indonesia;
(2) Pengendalian mutu pendidikan, berdasarkan standar kompetensi minimum;
(3) Kandungan minimal konten setiap bidang studi, khususnya yang menyangkut ilmu- ilmu dasar;
(4) Standar standar teknis yang ditetapkan berdasarkan standar mutu pendidikan.
Program-program
pembelajaran di sekolah berupa desain kurikulum dan pelaksanaannya,
kegiatan-kegiatan nonkurikuler sampai pada pengadaan kebutuhan sumber
daya untuk suatu sekolah agar dapat berjalan lancar, tampaknya harus
sudah mulai diberikan ruang partisipasi bagi pihak-pihak yang
berkepentingan. Demikian pula di lembaga-lembaga pendidikan lainnya
nonsekolah, ruang partisipasi tersebut harus dibuka lebar agar tanggung
jawab pengembangan pendidikan tidak tertumpu pada lembaga pendidikan itu
sendiri, lebih-lebih pada pemerintah sebagai penyelenggara negara.
Cara untuk penyaluran
partisipasi dapat diciptakan dengan berbagai variasi cara sesuai dengan
kondisi masing-masing wilayah atau komunitas tempat masyarakat dan
lembaga pendidikan itu berada. Kondisi ini menuntut kesigapan para
pemegang kebijakan dan manajer pendidikan untuk mendistribusi peran dan
kekuasaannya agar bias menampung sumbangan partisipasi masyarakat.
Sebaliknya, dari pihak masyarakat (termasuk orang tua dan
kelompok-kelompok masyarakat) juga harus belajar untuk kemudian bisa
memiliki kemauan dan kemampuan berpartisipasi dalam pengembangan
pendidikan. Sebagai contoh tentang partisipasi dunia usaha/industri pada
era otonomi daerah. Mereka tidak bisa tinggal diam menunggu dari suatu
lembaga pendidikan/sekolah sampai dapat meluluskan alumninya, lalu
menggunakannya jika menghasilkan output yang baik dan mengkritiknya jika terdapat output yang tidak baik. Partisipasi dunia usaha/industry terhadap lembaga pendidikan harus ikut bertanggung jawab untuk menghasilkan output
yang baik sesuai dengan rumusan harapan bersama. Demikian juga
kelompok-kelompok masyarakat lain, termasuk orang tua siswa. Dengan cara
seperti itu, maka mutu pendidikan suatu lembaga pendidikan akan menjadi
tanggung jawab bersama antara lembaga pendidikan dan komponen-komponen
lainnya di masyarakat.
Dalam perkembangannya, disadari
bahwa profesi guru belum dalam posisi yang ideal seperti yang
diharapkan, namun harus terus diperjuangkan menuju yang terbaik. Pada
saat diberlakukannya otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan yang
bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya teknologi informasi yang
sangat pesat, dipahami bahwa banyak tantangan sekaligus peluang yang
harus dihadapi untuk dapat diselesaikan oleh para guru dan lembaga
penyelenggara pendidikan. Para guru mempunyai tantangan untuk dapat
beradaptasi dengan sebaik-baiknya dalam situasi transisi, agar dapat
memperkecil dampak negatif dan memperbesar dampak positifnya. Menyikapi
hal-hal demikian, tidak lain maka para guru haruslah dapat mengembangkan
suatu perilaku adaptif agar berhasil mengemban profesinya
di era otonomi daerah dan era global ini. Dengan cara demikian,
mudah-mudahan peningkatan mutu pendidikan segera akan tercapai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar